Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2013

Basah

Kelas yang tidak terlalu berisik. Suasana tenang hingga membuatku terlelap meringkuk di atas lantai dengan berbantalkan buku. Kusadari, rintik-rintik hujan sedang membasahi bumi. Aku khawatir. Pakaianku masih di jemuran. Tapi aku terlalu lelah untuk bangkit dan mengambil pakaian-pakaian itu. Kubiarkan tetesang langit membasahi pakaian yang telah kucuci di pagi hari. Kembali kulanjutkan, mimpiku yang sempat tertunda.

Pagi Mentari Rus(U)h

Sinar cahaya mentari belum terlihat. Ku awali pagi hari ini dengan menyibukkan diri dari pekerjaan rumahan. Seperti mencuci, menjemur, dan menyetrika. Belum ada yang spesial di hari ini. Ku harap cepat kedatangannya. Biar bagaimana, pun aku lelah menunggu. Sinar mentari perlahan menjalar melewati celah-celah jendela yang terbuka sedikit. Segelas kopi luwak menghangati diriku yang sudah hangat karena baru saja menyelesaikan setrikaan. Secangkir semangat untuk Indonesi. Bagaimana bisa aku lupa!. Ada sesuatu yang terlewatkan. Bau yang sangat menyengat ini. Bau kabel terbakar. Segera aku memutus semua yang berhubungan dengan arus listrik. Pagi yang cukup sibuk. Beberapa coba ku perbaiki sendiri. Tapi hasilnya nihil. Sepertinya aku memang belum ahli untuk hal yang seperti ini. Yah sudahlah, lebih baik aku mencari bantuan.

Raga

Lama melangkah tak tentu arah. Mencari tujuan yang tak pasti. Detik yang tak tentu akan berakhir sia-sia jika langkah kaki tidak berhenti disana. Masihkah harus melangkah dalam kebutaan, sedangkan cahaya belum bersinar. Kecerobohan dalam menentukan berakhir dalam keraguan yang menyakitkan. "hentikan langkahmu" kuteriaki ragaku yang tidak menuruti jiwaku. Percuma, raga yang telah depresi dipenuhi rasa frustasi hanya akan membuat kekecewaan diri. Dan aku hanya bisa terdiam meratapi kedua temanku melangkah kedepan sedangkan ragaku mundur kebelakang

Falco

Getaran dada membara. Seluruh penduduk langit mulai berdansa. Berdendang dengan penuh wibawa. Dalam gersang tandus sahara. Mencari titik air yang dirindu. Mengapa diriku seakan terjebak antara langit dan bumi. Langit yang luas dipenuhi jutaan tetes embun awan atau bumi yang tandus dengan jutaan debu pasir yang menyelimuti oasis. Aku butuh seseorang. Untuk membantuku terbang menuju langit. Jika tidak, aku akan terjatuh ke bumi yang gersang. Tanganku seperti meraih pintu langit, tapi yang kurasa hanyalah hawa angin dingin yang menusuk. Sudah berapa lama aku melayang di antara keraguan langit dan bumi. Aku butuh jawaban, lebih tepatnya aku butuh bantuan. Seseorang yang bisa memberikanku dorongan untuk terus terbang ke angkasa luas. Mentari pagi sudah terlihat lagi. Waktu yang terlewat seakan sia-sia karena diriku belum bergerak sedikit pun. Terjebak dan tak tahu harus bagaimana. Yang kulakukan sekarang hanyalah menunggu. Menuggu dirimu untuk menjawab pertanyaan yang sempat tertunda waktu.

My Soul, Your Beats

Terlelap dalam alunan nada. Senandung raga ikut bernyayi. Terdiam dan merasakan kehampaan nada yang terdengar menyayat hati. Teringat akan hal lalu, mencoba bangkit. Tapi tetap dalam keadaan berbaring. Terdiam sejenak. Kembali melirik waktu. Tidak banyak yang tersisa. Hanya waktu yang terasa panjang. Sobakasu. Akankah waktu yang kumiliki masih cukup untuk berbicara dengannya. Sedangkan diriku tidak dapat bangkit dari peristirahatan. Seakan ingin menangis, tapi aku mencoba tetap tegar. Biarpun aku tahu, ini adalah hari terakhir. Sempatkah aku menyatakan rasa kepada seseorang yang sebentar lagi menikah. Ku tepis keraguanku. Ponsel yang tergeletak di atas meja kuraih. "Ass, bisa ngobrol bentar gak" pesan singkat, kukirimkan kepadanya. Lama ku menunggu jawaban. Ragu, diriku mencoba menghubunginya. Tidak di angkat. Apakah dia terlalu sibuk hingga dia tidak bisa menjawab telponku?. Kusadari, seseorang yang penyakitan sepertiku memang tak pantas untuk memilikinya. Tapi, setidaknya d

Hanya Ingin Pulang

Dalam langkah. Aku meratapi kepergian diriku yang entah ke mana harus dituju. Seakan nestapa terus mengalir dalam seni rupa wajah dunia. Aku terperangkap dalam dunia animasi. Otaku. Itulah kebanyakan orang menyebut diriku dan orang-orang yang sama sepertiku. Apa salahnya jadi Otaku? Tidak ada! Yang salah hanya skala dan rasa yang terlalu berlebih. Menjadikannya cinta dunia dan lupa akan akhirat. Inilah kesalahan terbesar diriku. Lupa akan akhirat dan pergi menuju tempat jauh di dalam dunia. Aliran air yang mengalir lurus keluar dari keran Masjid. Aku ingin kembali lagi ke mana diriku sebenarnya berada. Diriku yang dulu pernah menjadi seorang santri disebuah pesantren modern. Ini kali pertamanya aku melakukan ibadah di negeri yang jauh dari tempat kelahiranku. Di Negeri penuh animasi dan warna yang menjadikanku buta akan dunia yang sebenarnya. Dalam doaku. Aku berharap semoga bisa pulang dan merasakan sejuknya air gunung yang mengalir disungai-sungai besar. Tetesan air embun yang kurind

Dea. Th

Dea. Th By AdeHaze Seorang perempuan cantik menghampiriku. Tanpa kusadari, dia tersenyum. Senyuman itu terasa seperti membunuhku. "Aku Dea" kata perempuan itu. "A,, A,,, Altaf" kataku. "Senang berkenalan denganmu" kata Dea. Pandangan pertama ini, apakah aku sedang mengalami gejala yang sangat mematikan?

Sampah?

Apalah ini, Sampah? Mungkin, karena selama ini hanya mengisi kekotoran eksistensi. Tak apalah, memang bukan keputusan yang baik, terima saja. Tiada guna hidup lama, jika hanya menyusahkan. Jika mati pilihan terbaik, mungkin sudah tiada. Tapi larangan agama mencegah. Bukankah layaknya barang atau peliharaan, jika tidak menurut, hukum saja. Tapi kenapa sekarang masih bisa melihat dan merasa, kenapa tidak di bunuh dari awal saja jika hanya merepotkan dan tanpa ketaatan, bisa mengurangi beban. Apakah kasih sayang atau iba, dan mungkin Prihatin atau Perhatian?

BAW (Black And White)

Masa Kelam Nothing . . . . Just An Ordinary Person That Depressed From High Otaku Schooler,