Sebagai seorang tentara, semua perintah yang telah diberikan akan kulakukan dengan sepenuh hati. Biarpun itu bertentangan dengan hatiku ini. Kita ini tentara, kita ini berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Jika aku dapat perintah untuk mengahncurkan sebuah area, aku akan melakukannya dengan baik.
Militer adalah sebuah organisasi, dan dalam organisasi ada perintah yang harus kita laksanakan sesuai dengan kewajiban kita. Maka dari itu, jika tidak siap untuk menyerahkan seluruh dirimu kepada militer, maka sebaiknya jangan jadi tentara.
Toh. Itulah yang kupikirkan saat membayangkan masa peperangan. Saat membayangkan diriku mengenakan seragam militer kebangsaan, dengan perintah dari atasan yang diberikan kepadaku. Aku berdiri dihapadan markas sahabatku. Perintah itu berisikan “Bebaskan para tahanan perang”.
Dengan senapan laras panjang yang sedang kugenggam ini, aku bertekad akan menyelesaikan misi ini. Sebuah radio yang diberikan komandan, mengintruksikan diriku untuk memberikan kordinat markas yang sedang berada dihadapanku. Puluhan kilometer jauh dibelakang, telah siap barisan artileri yang siap melontarkan bom untuk membumi hanguskan sebuah markas.
Berdasarkan intruksi yang kuterima, aku harus menyampaikan peringatan kepada musuh untuk segera menyerah. Dan jika tidak diterima dengan baik, aku terpaksa harus mengirimkan sinyal untuk mulai bertempur.
Dan disinilah, ketika aku mulai mencoba mendekati markas musuh, ratusan peluru ditembakan dari balik kaca markas musuh. Biarpun tak mengenaiku, itu tandanya mereka tidak menyetujui untuk menyerah.Dengan tahanan perang yang jadi korban, membuat komandan militer untuk segera mengintruksikan barisan pasukan artileri untuk menembakan serangkaian bom kepada musuh.
Disinilah aku berdiri, saat peperangan terjadi. Aku dan kawanku saling bertatap muka dari kejauhan. Dengan alat bantu teropong dari senapan yang ku bawa ini, kulihat dia sedang bersiap-siap untuk menembak diriku, begitupun juga diriku.
Dan saat pelatuk telepas bersamaan dengan kawan. Dua buah peluru melesat cepat dari kedua arah yang berlawanan. Peluru itu jelas sedang mengarah kepadaku. Tapi aku tak tahu kenapa, seolah aku harus menghadapi ini dengan mata kepalaku sendiri.
Bahuku tertembak, darah yang berucuran kini mulai keluar. Aku mencoba menahan, kulihat peluruku menembus dahinya. Itu merupakan tembakan yang cukup fatal. Dengan kematianmu kawan, kulakukan ini karena perintah yang telah diberikan atasan kepada diriku.
Sekuat apapun persahabatan kita, aku tak akan kuasa untuk mengingkari perintah yang telah diberikan kepadaku. Biarpun aku harus membunuh kawan terbaikku sendiri.
Selamat tinggal kawan terbaikku.
Komentar
Posting Komentar
Mari Berkomentar, Siapa Tahu Nanti Kita Ketemu Dijalan